Luna ─ pjmyg
° ° °
“Saat pertama melihatnya, Min Yoongi terlihat bersinar. Indah
sekali. Bahkan pikirku, bulan pun iri melihat keindahannya. Maka dari itu, aku
memanggilnya ‘moon’ sejak kami mulai berbicara. Dan pilihanku untuk memilikinya
tak pernah salah.” ─Park Jimin
° ° °
Biasanya, pagi hari
menjadi suasana favorit bagi kebanyakan orang. Namun, beberapa memilih malam
ketimbang pagi hari. Min Yoongi, contohnya.
Pemuda ini, lebih senang
menghabiskan waktunya di malam hari. Lebih mencintai desiran angin malam
dibanding lembutnya udara pagi. Lebih memuja sang rembulan daripada sang
matahari. Min Yoongi dengan segala kejatuhcintaannya terhadap malam.
Ada satu pengecualian,
sebenarnya.
Namanya Park Jimin─dan
Yoongi mencintainya lebih dari ia mencintai sang rembulan.
“Moon,”
Darahnya berdesir─lebih
cepat daripada desiran angin malam. Rasa-rasanya panas sudah merambat sampai ke
pipinya.
“Kau mendengarku?”
“Iya,” jawabnya, lirih.
“Aku mendengarmu, jelas sekali.”
Yoongi dapat merasakan
senyumannya, meskipun ia tak melihat dengan jelas di penerangan sepayah ini.
“Dan aku melihatmu, Min Yoongi.”
Lagi, Park Jimin selalu
berhasil membuat jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Terlebih saat kalimat
selanjutnya mengalir begitu halus dari bibirnya.
“Cantik sekali,” Sebuah
kecupan lembut menyapu permukaan kulitnya, dan ia merona sekali lagi. “Aku
memujamu, aku sungguh memujamu.”
“Hentikan─” Yoongi
meremas jemarinya kala pemuda di sampingnya itu tak berhenti mengucap berbagai
kalimat yang membuat jantungnya ingin meledak. “─astaga, Jimin. Jangan
membuatku mati.”
Dan Yoongi bersumpah,
tidak ada yang lebih mendamaikan selain tawa lirih seorang Park Jimin.
Park Jimin itu sempurna.
Terlalu sempurna untuk menjalani kehidupan malam yang tidak selembut kehidupan
di pagi dan siang hari. Yoongi tak jarang melarangnya datang, namun rupanya ia
lebih keras kepala daripada yang melarang. Karena ia selalu datang, kapan pun
Min Yoongi datang. Duduk di sana tanpa meneguk setetes alkohol pun, sedang Min
Yoongi kecanduan dengan cairan beraroma menyengat itu.
Tapi malam ini, Jimin
tidak datang. Dan Min Yoongi frustasi dibuatnya.
Terhuyung-huyung sepanjang
jalan pulang, tanpa Jimin yang biasa membantunya berjalan. Sampai ia
tersandung, menyerah untuk menyeret kakinya lebih jauh lalu terduduk di pinggir
jalan dengan kondisi mengenaskan.
Di saat seperti ini, ia
mulai berpikir. Mungkin, ia harus merasa seperti ini selama satu atau dua hari.
Frustasi, hampa, tak tahu menahu perihal apapun. Mabuk, tanpa pengawasan dari
Park Jimin. Wah, kedengaran menantang.
Dan Yoongi
menyesal─karena ia menguji kesabaran Tuhan, menantang-Nya dengan berpikir
seperti itu.
Seharusnya ia tetap
berjalan. Seharusnya ia tidak berada di tempat ini dengan keadaan seperti ini.
Seharusnya ia memanggil Park Jimin, nomor pemuda itu bahkan ada di daftar
panggilan daruratnya. Seharusnya ia memberontak kala sepasang tangan kekar menyeretnya
ke tempat sepi. Seharusnya ia tidak diam saat mereka menyakitinya:
melayangkan balok kayu ke arah punggungnya; menendang perutnya; menjambak
rambutnya, lalu membenturkan kepalanya ke lutut. Seharusnya Yoongi melawan saat
mereka mengambil dompetnya, juga ponselnya─seharusnya Yoongi melawan,
seharusnya Yoongi begitu. Tapi ia tidak, tidak mampu melawan.
Demi Tuhan, dia itu
lelaki. Tapi kenapa ia lemah sekali?
Lalu saat Park Jimin
datang dikeesokan malam, Yoongi tidak datang. Ia berada di apartemennya,
seorang diri. Sibuk menyalahkan dirinya yang begitu lemah. Sibuk memaki dirinya
yang mungkin akan mati jika Jimin tidak mengasihaninya.
Yoongi mulai berpikir,
mungkin ia sepatutnya mati. Entah terjatuh dari gedung pencakar langit, atau
terlindas mobil di tengah jalan, atau mungkin─seharusnya orang-orang yang kemarin
malam merampoknya membunuhnya juga.
Sibuk memikirkan
kematiannya, Yoongi tidak tau sejak kapan Jimin sudah berdiri di ambang pintu
kamarnya. Pun tak mengerti apa arti tatapan Park Jimin di sana. Sedangkan ia
tetap di tempatnya, memandang Park Jimin sama rumitnya.
“Moon,” Park Jimin
mendekatinya, dan ia masih mematung. “Aku merindukanmu.” Lalu Jimin
merengkuhnya, membawanya ke dalam pelukan hangat yang begitu didambakan.
Namun Yoongi masih
terdiam, meskipun jantungnya kembali berpacu seperti biasa.
“Moon?” tiba-tiba,
pelukannya terlepas. Dan Park Jimin sedang menatapnya, dalam. Sembari mengusap
pipi pucatnya, satu kecupan mendarat di keningnya. “Apa yang terjadi dengan
wajahmu, moon?”
Kali ini Yoongi merespon,
meski hanya sebuah gelengan singkat.
“Katakan padaku.”
Yoongi menggeleng lagi.
“Aku baik-baik saja, Jimin.”
“Seseorang memukulmu?”
“Bukan. Seekor kucing
mencakarku.”
Jimin menghela nafas.
“Aku tidak bodoh, sayang.”
Dan anehnya, Yoongi
terkekeh. “Aku tau,” lalu ia meletakkan kepala di bahu sang pujaan hati.
“Biarkan begini, jangan bertanya apapun.”
“Apapun untukmu, moon.”
Dan tangannya mengusap surai kelam Yoongi penuh kehati-hatian, kelembutan.
Yoongi tak berkata lagi
setelahnya. Jemarinya memilin ujung kemeja yang dikenakan Jimin. Lalu entah
mengapa, tangisnya pecah dalam diam.
“Sayangku?” Bisik Jimin
lembut kala merasakan basah di tempat Yoongi bersandar. Namun tak ada jawaban,
dan ia mengerti. Direngkuhnya kembali Min Yoongi, lalu ia membiarkannya
membasahi bahu. “Aku mencintaimu, sangat.”
Satu isakan pun lolos.
Punggungnya bergetar, dan Park Jimin bersumpah akan membunuh siapa pun yang
telah menyakiti candranya.
Untuk beberapa saat,
keheningan menyelimuti. Min Yoongi masih menangis, namun tanpa isakan. Sedang
Park Jimin masih mengusap surainya. Sampai pada akhirnya suara serak Yoongi
memecah keheningan.
“Aku ingin mati,”
Dan Jimin menahan
lidahnya untuk bertanya.
“Aku benci hidup, Jimin.”
“Nyaris semua orang yang
mencintai malam berpikir begitu, sayang.” Bisik Jimin sembari mencium pelipis
kekasihnya.
“Kau?”
“Ya, aku pun.”
“Jimin, tapi─”
“Ssh, tenanglah.” Jimin
kembali membisik. “Aku di sini, ingat? Akan selalu di sini.”
Yoongi mengeratkan pelukannya,
menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Jimin. “Jimin,”
“Iya, cintaku.”
“Jangan menghilang lagi.
Aku, aku takut sekali.” Yoongi berujar pelan, namun Jimin mendengarnya begitu
jelas.
“Maafkan aku, moon.”
“Aku benci saat lemah
tanpamu. Aku benci, aku tidak bisa melakukan apapun tanpamu. Aku ben─”
Ucapannya terpotong kala
Jimin secepat kilat melepaskan pelukannya, lalu meletakkan bibirnya tepat di
atas bibir Yoongi. Seolah membungkamnya agar tidak berbicara lagi. Seolah ingin
membuatnya mengerti jika hal itu bukan lah sesuatu yang patut di benci. Bukan,
tentu saja bukan.
“Dengarkan aku, moon.
Kau tidak lemah,” bisiknya disela ciuman. “Kau bisa melakukan sesuatu tanpaku,
tapi aku tak ingin begitu.” Beberapa kecupan menyela ciuman mereka. “Karena aku
ingin kita, bukan hanya kau dan aku.”
Park Jimin benar. Tapi
bolehkah Yoongi berpikir, bahwa sosok yang tengah menciumnya ini adalah sosok
yang egois?
“Tapi kau membiarkan aku,
Jimin.”
“Maka itu kesalahan besar
yang telah ku lakukan. Aku memohon ampun padamu, moon.”
Yoongi ingin menangis lagi.
Tapi ia tidak boleh begitu. “Aku mengampunimu,”
“Aku bersumpah, Yoongi.
Aku bersumpah tidak akan membiarkan kau lagi. Kita akan
menjadi kita, selamanya, biar pun dunia tak menginginkannya.”
Yoongi tersenyum tipis,
lalu ia tak berkata lagi.
Pemuda itu kembali
menyatukan bibir mereka. Lalu alunan suaranya kembali menggetarkan Min Yoongi,
“Menikah lah denganku.”
Dan, bagaimana bisa
Yoongi berkata tidak sedang hatinya lebih dulu menyuarakan iya tanpa
ragu sedikit pun?
° ° °
peek a boo!
welcome to my blog, and say hello to my first fic in this blog─yay!!
welcome to my blog, and say hello to my first fic in this blog─yay!!
Katakan ini terlalu dramatis─gapapa, aku juga mikir begitu.
Aneh─aku bingung sendiri kenapa tulisan ini tertulis, atau lebih tepatnya,
terketik begitu aja dengan kata-kata tidak jelas dan alurnya pun tak jelas?
Mungkin ku sudah lelah─Dududuh, kan, ketikanku jadi dramatis juga?!
Ya, intinya aku sayang sama jimin, sayang yoongi, sayang
bangtan, sayang dia, sayang kalian, sayang semuanya. sudah, terimakasih!♥
Comments
Post a Comment